Bikin cerpen ini tuh pas waktu dengerin lagunya SUPER JUNIOR yang judulnya 'memories' juga, sumpah ngena banget pas tau artinya. sok dibaca aja yah jangan lupa kasih saran ;;)
***
“Notice me, take my hand
Why are we strangers when
Our love is strong
Why carry on without me…
Alunan lagu everytime yang dinyanyikan Britney Spears menggema dari headset putih miliknya. Lantunan itu membuatku merindukannya, seseorang di masa lalu yang kini tak bisa kujamah lagi keberadaannya.
“Pernah berfikir buat ninggalin semua kenangan yang udah susah payah kita rajut, tapi,,” tatapannya kosong memandang ribuan bintang yang meriah malam ini, lalu mulai menatap mataku yang kini mulai memerah karena ucapannya, “Tapi semuanya terlalu berharga.”
Dia mulai menampakkan senyumannya yang lebih cerah daripada bintang yang bersinar malam ini, dan aku seperti terhipnotis olehnya. Aku ikut tersenyum saat dia tersenyum.
Malam ini hujan turun untuk pertama kalinya di tengah kemarau bulan ini. Merasakan keanehan yang tak pernah kurasakan sebelumnya. Apa dia sedang menangis di sana? Tetesan hujan yang turun dari atap rumah membentuk suara berdentang yang cukup keras. Membuat segumpal embun di celah-celah jendela kamar yang membentang tinggi di depanku.
“Coba hitung berapa tetes hujan hari ini?” tanyanya sambil mengamati tetesan hujan yang turun begitu derasnya sore ini di kamarku.
“Huh, mana bisa? Terlalu banyak Bi,” keluhku, bibirnya terangkat menatapku.
“Beli alatnya dulu gih, siapa tahu ada,”
“Mana ada alat kaya gitu? Kalo ada doraemon sih masih mungkin.” Kataku ngasal.
“Doraemon?” dia tertawa mendengarnya, “Tolong mintain alat buat ngehapus air mata juga yah sekalian,”
“Loh, buat apa?”
“Buat kamu, takut aja kalo air mata kamu bisa melebihi tetesan hujan hari ini, dan aku mungkin engga akan sanggup buat ngehapusnya,” aku terdiam, mulutku kelu seketika itu juga.
Hujan kali ini semakin lama semakin deras. Kurasakan wajahku memanas, hatiku dipenuhi kesakitan seperti sedang disayat-sayat oleh masa lalu. Aku mencoba meraih sebuah novel untuk menahannya, menahan semua kepedihan yang begitu hebat. Beberapa lembar kusapu, namun pikiranku tak menangkap satu pun kata yang terkandung di dalam novel ini. Tapi, saat membuka lembar selanjutnya ada sebuah foto yang terselip di sana. Foto aku dan Derbi saat sedang merayakan ulang tahunku yang ke 18 tahun, hanya berdua, dan itu malah semakin terasa lebih bermakna.
“Happy birthday to you, happy birthday to you, happy birthday, happy birthday, happy birthday to Diyla,,” dia bernyanyi sambil membawa sebuah kue mungil dengan satu lilin di atasnya. Aku terpaku, mataku mulai berkaca-kaca, ini benar-benar mengejutkanku. Kufikir tadinya dia marah karena aku terlambat menemuinya di caffe, sampai dia pulang lebih dulu kerumah. Ternyata ini rencananya, “Hey jangan bengong aja, nih tiup dulu,” aku pun menurut dan, “Eh make a wish dulu deng,” dia cengengesan di hadapanku.
Aku mulai memejamkan mataku, dan mengaharapkan satu keinginanku terkabul, “Semoga kebersamaan ini akan selalu kurasakan,”
Wush
“Yeaaah, selamat yah sayang,” dia mengecup keningku dan mulai mengacak-acak rambutku, “Sini foto dulu,” Dia menyodorkan kamera yang sudah siap membidik gambar kami berdua, aku tertawa bahagia di sana, di sampingnya yang sama bahagiannya denganku.
“Makasih sayang, ini bener-bener berarti buatku,”
“Iya sama-sama,” jawabnya, dia mulai merogoh sakunya dan mengeluarkan sesuatu di sana. Ternyata sebuah kalung berbentuk inisial “D” Derbie-Diyla “Aku pakein yah?”
Aku mengangguk dan merasakan jantungku berdetak lebih cepat saat dia berada di belakangku, setelah selesai memasangnya dia langsung memelukku dari belakang, “Maaf cuman bisa ngasih beginian, engga kaya...” aku mempererat pelukkan tangannya.
“Ini lebih berharga dari pada yang lain, makasih sayang.”
Kuraba kalung ini, kalung yang penuh dengan kenangannya dan kenangan tentang cintanya. Tak pernah kubayangkan keindahan cintanya hanya kurasakan sekejap mata, dan kini berganti dengan kesakitan karena kehilangan.
Uhuk uhuk
Aku terbangun mendengar suara batuk itu. Aku mulai melangkah menghampiri seseorang yang kini berada diambang pintu dengan luka memar dan darah segar di wajahnya. Mataku melotot, tak percaya dengan apa yang kulihat sendiri, aku langsung berlari menghampirinya dan memeluknya seketika. Air mataku tak bisa kubendung lagi.
“Hey, tubuhku sakit semua nih.” Rintihnya, aku langsung sadar dan mulai memapahnya ke dalam.
Setelah membawa kotak obat dan air untuknya, dia masih saja tak mau menceritakan apapun padaku, “Kamu ini anggep aku apa sih?”
“Adaaw sakit sakit,” rintihnya sambil memegang kepalanya yang kutekan terlalu keras.
“Ma..maaf aku engga senggaja,” kuamati luka yang ada di pelipisnya, semua luka yang ada di wajahnya selalu sama, “Kamu berantem lagi Bi?”
Seketika itu juga dia menghindariku, “Itu bukan urusan kamu!”
“Bukan urusanku? Heuh terus kamu anggep aku apa selama ini? Orang lain? Kamu engga pernah terbuka Bi, kenapa? Kamu engga percaya sama aku? Atau aku masih kamu anggep anak kecil? Jawab Bi!” emosiku kini benar-benar meledak, aku tak sanggup lagi melihatnya terus-terusan begini. Dia terluka aku pun ikut merasakan luka itu, dan rasanya terlalu menyakitkan.
“Semuanya baik-baik aja ko, tolong percaya sama aku,” nadanya menghalus dan ia mulai menarikku ke dalam pelukannya.
Aku menangis di dalam tubuhnya yang kekar, aku hanya ingin dia berbagi semuanya. Berbagi semua kesakitan dan kegundahan yang selama ini ia rasakan, bukan hanya kebahagian yang dia bagi padaku, tapi semuanya. Aku ingin dia tahu, kalau aku akan selalu ada untuknya. Selamanya.
Pagi datang membawa sinar yang menyilaukan dari balik celah-celah jendela kamarku. Jam beker sudah bernyanyi sejak tadi, namun kuhiraukan sampai tak sadar kubanting ke lantai. Kuayunkan kakiku yang terasa kaku ini menuju kamar mandi.
Pagi-pagi pikiranku sudah banyak bergelut dengan masalah-masalah yang tak selesai. Entah dengan apa kubayar semua biaya kuliahku kali ini, biasanya orang tuaku mengirim setiap bulan untukku. Namun sejak 5 bulan ini mereka masih marah karena aku lebih memilih Derbi daripada mereka.
“Kamu lebih milih lelaki begajulan itu daripada pilihan orang tuamu? Dasar tak tahu diuntung, pergi sana!” kata-kata itu masih jelas terekam dalam memory otakku, ucapan itu terlalu pahit hingga langsung kutelan bulat-bulat.
“Heh rotimu minta diabisin tuh,” tegur Derbi mengagetkanku.
“Oh iya,” dengan enggan langsung kuhabiskan sisa roti yang ada di tanganku, dia malah tersenyum dan mulai mengacak rambutku yang sudah rapi ini, “Hey jangan diacak-acak lagi,” rengekku.
“Dasar gadis manja, aku pergi kerja dulu yah, bye.” Dia melambaikan tangannya sambil melangkah menjauhiku hingga meghilang di balik pintu.
Entah kenapa saat itu aku menghitung setiap langkah saat dia mulai menjauh dariku. Rasanya tak ingin lepas pandanganku dari wajahnya yang terlihat dingin pada setiap orang kecuali padaku.
Ceklek
Pintu terbuka lagi, “Ada yang lupa,” dia kembali dan menghampiriku, “Nih uang buat bayar kuliah kamu, awas jangan dipake macem-macem ya,” Setelah itu dia tak lupa mengecup keningku lembut. Terasa lama dari biasanya, tapi aku menikmatinya, “Aku pergi, bye.”
Dia kembali melangkah menjauhiku, dan entah mengapa aku enggan berada jauh darinya walau selangkah pun. Aku mulai mengejarnya dan memeluknya dari belakang.
“Jangan lama-lama,” ujarku.
“Iya,” dia melepaskan pelukanku dan berganti memelukku.
Pelukan yang kurasakan begitu hangat dan tulus. Entah sejak kapan kurasakan pelukannya yang semakin mengabur dalam benakku. Tuhan aku merindukannya. Tak terasa aku sudah tertidur lemas sambil memegang kalung darinya dan masih memakai headset putihnya. Lagu yang kudengarkan sampai saat ini masih sama, dan masih dibayangi oleh semua kenangan tentangnya.
I make believe, that you are here
It's the only way I see clear
What have I done
You seem to move on easy
I may have made it rain
Please forgive me
My weakness caused you pain
And this song's my sorry
At night I pray
That soon your face will fade away..”
Tak kusangka Derbi memberiku uang kuliah untuk 1 tahun kedepan. Aku sudah berniat untuk membuatkannya sebuah makan malam yang romantis, dia pasti menyukainya untuk ucapan terima kasihku. Aku akan berusaha, demi dia, demi Derbiku.
Makanan sudah tersedia. Lilin kecil sudah tertata rapi di setiap sudut ruangan untuk memberi kesan romantisnya. Tak lupa, kuletakkan sebuah vas berisi bunga mawar putih di tengah meja makan. Mawar yang menandakan cinta untuknya dariku, dan putih menandakan ketulusanku padanya.
Jam menunjukan pukul 10 malam, tapi Derbi belum tampak batang hidungnya sama sekali. Kuamati dengan bosan lilin-lilin yang mulai meleleh itu, sampai tak sadar aku terlelap tidur di atas meja makan.
Krek..krek..krek
Suara itu membangunkanku. Aku mulai mengamati setiap sudut ruangan dengan was-was. Dan ternyata itu Derbie, dia sedang menyalakan semua lilin yang tadi kuperhatikan semakin meleleh itu. Aku menghampirinya dengan wajah cemberut,
“Hey kenapa?” tanyanya namun tak menoleh padaku, dia masih bergelut dengan semua lilin itu dan mengacuhkanku.
“Apa kamu engga liat aku lagi marah? Masih aja ngurusin lilin-lilin itu.”
Dia mulai menghampiriku dan menggandengku menuju meja makan, “Udah deh engga usah cemberut, ini semua buatku kan?” tanyanya, aku hanya mengangguk, “Ya udah sekarang duduk manis dan tunggu sampe semua lilinnya nyala, oke?”
“Tapi makanannya udah dingin,” Ujarku murung.
“Engga apa-apa ko, masih bisa di makan kan?”
Semuanya tampak sempurna seperti semula. Aku mulai tersenyum puas dan mengamati Derbie yang makan dengan semangatnya.
“Enak, buatan kamu atau beli?” godanya.
“Ya buatan akulah, susah payah aku nyontek di buku resep, ups,” aku menutup mulutku yang comel ini, kulihat dia hanya tertawa memaklumi, “Udah deh, makan yang banyak yah, kalo perlu abisin semuanya biar aku seneng,”
Dia menatapku sejenak, lalu tersenyum dan mulai memakan semua makanannya, “Semuanya demi kamu.” Lirihnya.
Setelah makan kami duduk di luar teras dan menikmati bintang seperti biasa. Namun sayang, bintangnya hanya terlihat sedikit.
“Malam ini engga secerah biasanya yah?” keluhku yang sedang bersender di bahunya.
“Tenang aja, masih ada aku yang paling bersinar di sini.” Jawabnya pede, aku tersenyum mendengarnya.
“Kalo hujan, gimana hayo? Tetep gelap dong?”
“Itu sih gara-gara belum bayar listrik mungkin,” aku cengengesan karena banyolannya, “Yah tetep aja, aku bakalan tetep bersinar lewat petir di tengah hujan,”
“Wih serem dong kalo petir?”
“Biarin, biar bisa sekalian ngejagain kamu.” Dia mulai lagi mengacak-acak rambutku.
“Ih kebiasaan deh,”
“Hehe, soalnya kamu itu…”
“Kamu itu apa?”
“Kamu itu paling mudah rapuh dan perlu dilindungin, kaya anak kucing hehe,,”
Entah apa lagi yang dia bicarakan, aku terlelap tidur di bahunya dan tak mendengar apapun lagi. Sampai kudengar bunyi telepon rumah yang membuatku tersentak kaget. Loh, ko di meja makan? Aku bingung, bukannya tadi malam di teras rumah yah? Batinku
Ternyata sudah pagi. Pagi yang mendung. Aku mulai melangkah untuk mengangkat teleponnya.
“Hallo?” sapaku.
“Iya betul, ini dengan pacarnya, ada perlu apa yah?...a..a..apa? maaf tapi kurasa mbak salah sambung, Derbie ada di rumah ko,” kuamati setiap sudut ruangan, namun tak kulihat dia dimana-mana, “Okey, saya akan segera kesana untuk memastikan.”
Tubuhku terasa terlepas dari tulung-tulangnya, aku melemas. Entah mimpi buruk apa ini? Aku tak bisa bangun dari sini. Aku tak bisa melakukan apa pun. Derbi ada di sampingku, dan tak mungkin dia pergi begitu saja. Sangat tak masuk akal.
Aku sampai di rumah sakit, tepatnya di ruang jenazah. Ruang yang di penuhi oleh raga tak bernyawa. Aku sebenarnya enggan masuk ke sini, namun hati kecilku seperti membujukku ke sini.
“Ini mbak,” tunjuk suster yang masih terlihat muda dan cantik itu yang dengan sabar menemaniku di ruangan ini.
Aku mulai mengamati jasad yang ada di depanku. Entah bisa percaya atau tidak, yang pasti saat ini aku merasa sekujur tubuhku menegang. Aku memberanikan diri membuka kain putih yang menutupinya. Perlahan sampai rasanya tak seinci pun kain itu terbuka. Sampai akhirnya…
“Heuh, kurasa ini semua cuman omong kosongkan?” ucapku reflex lalu tertawa getir, namun air mataku terus saja mengalir.
“Yang sabar yah Mbak,” suster itu memelukku lembut. Tangisanku semakin menjadi, sampai akhirnya aku tak sadarkan diri.
Detak jantung semakin hari terasa tak berguna, hanya perlu satu detik untuk menerima kenyataan, namun perlu beribu-ribu waktu untuk melupakan. Tetesan darah tak pernah hilang darinya. Dan dengan bangga ia persembahkan untukku, si kucing malang yang selalu meminta perlindungan. Nyawa yang berharga itu rela ia berikan untukku, si benalu yang tumbuh di kehidupannya.
“Derbi bekerja sebagai petinju cabutan, dia rela babak belur demi mendapatkan uang untuk kuliahmu.” Ucapan dari rekan kerjanya membuatku semakin menjadi pencundang besar kali ini.
Apa yang bisa kuperbuat untuknya? Adakah yang bisa kulakukan selain meminta? Tolong beri aku kesempatan, Tolong beri aku keyakinan bahwa aku bisa buat dia bahagia bersamaku, batinku. Tetesan waktu semakin lama semakin melambat. Dia tak lagi secerah dulu, tak lagi menerangiku. Dia tak bisa memberiku waktu untuk membuktikannya.
Kesakitan, penderitaan, dialah yang tanggung sendiri. Kegundahan, kecemasan, dia yang rasakan seorang diri. Dan aku? Aku benar-benar tak berguna dan menjadi beban untuknya. Semua pengorbanan darah, keringat dan nyawa. Semua. Dan semuanya hanya untukku.
JEDARRR
Bunyi petir yang menyambar membuatku terlonjat kaget dari tidurku, namun seketika aku langsung ingat...
“…aku bakalan tetep bersinar lewat petir di tengah hujan,”
Seketika aku mulai merasakan bahwa dia ada di sampingku di sini. Menghangatkan semua suasana di dalam diriku.
“Aku merindukanmu,” lirihku.
“Asal kamu tahu, aku bangga melakukan semua ini untukmu, jangan selalu jadi hujan yang terus menurus menampakkan kelemahan, kamu harus buktikan bahwa kamu itu kuat.” lirihnya
“Aku bakalan jadi cewe kuat demi kamu, Bi.”
“Aku percaya.” Dia tersenyum dan mulai menghilang lagi bersamaan dengan hilangnya petir di tengah hujan ini.
Kehilangan itu menyakitkan. Tapi semuanya akan terasa indah saat dia tersenyum melihatku kuat untuk menghadapi semuanya. Aku akan buktikan bahwa aku bisa, aku bisa demi dia. Dan memory-memory ini takkan pernah terlepas dari ingatan.
Tamat









0 komentar:
Posting Komentar